.memori kelima belas
Saat aku kelas 3 SMU, ada puluhan
anak pindahan yang datang. Secara teknis mereka bukan anak sekolah lain —
cabang tempat Rein bersekolah sedang direnovasi. Ada sekitar 50 murid pengungsi
yang kemudian berbagi ruang kelas denganku, dan Rein adalah salah satunya.
Tidak ada satu pun dari teman main Rein yang ikut pindah, membuatku berpikir
mungkin Rein bersedia diungsikan karena keberadaan Aksa.
Hubungan mereka begitu tenang dan
nyaman, rasanya tidak pernah ada pertengkaran yang kudengar. Ketika Rein dan
Ditya penuh dengan gejolak, hubungan Rein dan Aksa terasa datar. Aku sempat
mempertanyakan apakah itu berarti buruk, hingga aku sadar Rein dan Aksa sering
tersenyum kecil pada satu sama lain ketika mereka pikir tidak ada orang lain
yang melihat.
Mereka begitu lama menyimpan
perasaan itu di dalam diri mereka sendiri, hingga mereka begitu berhati-hati.
Menjaga hubungan itu seperti porselen yang mudah retak.
Rein mulai mengikuti bimbingan belajar di dekat sekolah setiap
Senin-Kamis. Aksa memiliki jadwal lain di hari yang sama — ia mengikuti olimpiade sains, dan
mendapatkan pelajaran khusus tambahan dari Pak Ludo. Aku menawarkan untuk
menemani Rein berjalan, karena sudah beberapa kali aku mendengar tentang
kejadian pencopetan di sekitar sekolah kami.
Rein tidak menolak sama sekali,
tetapi dia selalu mentraktirku memakan mie bakso kesukaannya, yang dijual di
gerobak di depan tempat bimbelnya. Dia selalu memaksaku, berkata kalau ia benci
diperhatikan semua orang karena makan sendiri. Aku tahu sebenarnya Rein
melakukan itu karena ingin berterima kasih padaku, jadi aku tidak pernah
menolaknya.
“Gue harus pulang,” katamu suatu
Senin sore, dari dalam mobil, dengan kaca jendela yang terbuka. “Ikut mobil gue
aja ke tempat bimbel lo, Rein.”
Rein dan aku berdiri di samping
mobilmu, tampak berpikir. Kau tidak pernah mau berjalan bersama kami, tapi kau
selalu rajin menawarkan tumpangan mobil ke sana. Bertanya apakah kau mau makan
bakso bersama kami adalah sia-sia, jadi kami tidak pernah repot-repot
menanyakannya.
Aku dan Rein menatap cahaya sore
yang kekuningan. Pohon di depan sekolah kami meranggaskan bunga-bunga kecil
berwarna kuning, yang kini sudah memenuhi tanah di bawah kami. Pemandangan itu,
diiringi dengan kicauan burung dan deru mobil yang sesekali lewat, terasa
begitu indah.
Rein membuka pintu mobilmu,
berkacak pinggang ketika ia berkata, “Jalan sama kita, deh, sekali-kali!”
Kau mengerucutkan bibirmu
sejenak, tampak berpikir.
“Cuacanya bagus banget,” kataku,
setuju dengan Rein.
“Dengan tampak galak gue, nggak
bakal ada yang berani malak lo, oke?” kata Rein lagi. “Dan tenang aja, gue nggak akan traktir lo bakso urat. Gue
tahu lo benci bakso urat. Atau semua bakso secara umum.”
Kau masih berpikir lagi, ketika
kemudian aku berkata, “Sekali-kali, Ed.”
Kau berhenti berpikir dan
memberikan cengiran tipis. Setelah meminta supirmu untuk menunggu di tempat
bimbel, kau turun dari mobil, dompetmu diselipkan di kantung celanamu. Lalu kau
meraih tanganku dan mulai berjalan beriringan.
Aku rasa hatiku berhenti untuk
beberapa saat, tapi aku susah payah untuk menyembunyikannya. Kau mengayunnya
ringan, beriringan dengan langkah kaki kita, seakan ada ritme lagu pelan yang
kita ikut.
“Lo, Rein, harus kasih gue kado
ulang tahun yang bagus,” katamu dengan cengiran yang belum hilang. “Bayaran gue
jadi bodyguard tambahan lo — walaupun
sebenernya lo nggak butuh bodyguard gue
rasa.”
“Dan lo sebaliknya — magnet
copet. Anak SMU mana yang pake Vacheron Constantin ke sekolah? Lo nggak waras,”
kata Rein bercanda, yang ditanggapi hanya dengan tawa kecil darimu. Rein kini
berjalan mundur, agar wajahnya dapat berhadapan dengan milik kita. Dia bertanya
lagi dengan penasaran, “Tapi emangnya apa, sih, yang seorang Edmund
Chandrasaputra mau buat ulang tahun? Gue yakin Shiva pun bingung mau beliin apa
buat lo.”
Kau tertawa. “Ya, gue nggak butuh
apa-apa. Gue udah punya segalanya,” katamu, mengangkat tanganku yang digenggam
olehmu, memperlihatkannya pada Rein. Rein hanya memutar bola mata dan
berpura-pura muntah, tapi kemudian dia juga tertawa.
Sejujurnya aku belum berpikir
sejauh itu tentang ulang tahunmu. Ketika beberapa hari yang lalu kau berkata
kalau kau akan merayakan ulang tahun terakhirmu di Indonesia sebelum berangkat
ke Perancis, aku hanya berpikir bagaimana aku telah melewatkan ulang
tahun-ulang tahunmu sebelumnya tanpa kesan yang mendalam. Ketika kini kau
semakin penting untukku, rasanya begitu banyak hal yang dengan sia-sia
kulewatkan. Seharusnya aku menikmati setiap detik yang kulewatkan bersamamu,
seperti saat ini.
Rasaku padamu begitu meluap-luap
hingga rasanya aku tidak bisa bernapas. Mungkinkah kebahagiaan bisa
semenyesakkan itu? Aku ingin memelukmu sepanjang waktunya, hingga rasanya tidak
ada lagi hal di dunia ini yang lebih penting daripada itu.
Tampaknya perasaan itu begitu
kentara bagi seluruh dunia. Setelah menyerukan pesanan (yang terkadang dipesan
lewat BBM oleh Rein yang memiliki kontak Mang Bakso itu), aku dan Rein duduk
berdampingan.
“Tahu nggak,” kata Rein
menumpukan kakinya pada kaki yang lain. Dia terlhat bersemangat dan bercahaya
ketika ia berkata, “Gue rasa lo udah ngubah Ed.”
Aku menoleh ke arah Rein, berkata, “Oya? Gue
sering ngerasa kalau banyak dalam diri dia yang nggak bisa gue ubah. Tapi gue
berusaha terima itu, sih.”
“Ya, itu juga, sih,” kata Rein
mengiyakan. “Tapi gue kan sekelas sama dia, dan gue tahu gimana dia waktu SMP
dulu, jadi gue bisa lihat. Waktu kelas dua SMP, gue dan dia pergi latihan
teater bareng sama lima belas orang lain di kelas. Ada anak yang namanya Darian
yang ulang tahun waktu itu, dan dia traktir satu grup kita makan bakso sepulang
latihan. Tapi dia nggak ngajak Ed.
“Gue tentu nemenin Ed pergi,
karena gue tahu dia ngerasa kesel — Darian lumayan deket sama dia. Kita bahkan
sempet beliin Darian hadiah. Sebelum gue dan Ed pergi dari tempat latihan, kita
denger Darian dan anak grup lain ngomongin Ed. Tentang gimana dia nggak pernah
bisa fit in, tentang gimana dia selalu
sok pangeran.
“Gue inget kata-kata Darian waktu
itu, “Gue nggak bisa traktir dia di resto
mahal, dan gue yakin dia bakal ngeremehin gue karena itu. Gue cuma temenan sama
dia karena dia selalu traktir gue makan siang sebelum latihan. Gue muak
ngelihat gaya dia yang selalu belagak kayak semua orang lebih rendah daripada
dia.””
“Dia ngomong begitu?” tanyaku,
berpikir dalam hati mungkin sebenarnya kata-kata Darian juga ada benarnya. Bagi
orang yang belum mengenalmu dengan baik, kau terkesan sombong. Aku pun merasa
seperti itu ketika pertama kali mengenalmu.
“Sekarang lo bisa bilang dia
arogan, soalnya dia emang jadi arogan setelah kejadian itu,” kata Rein. “Dia
nggak mau kerja kelompok kecuali sama temen deket, dia nggak mau temenan sama
orang di luar... yah, kita. Dia nggak suka susah — lo lihat sendiri gimana dia
ragu-ragu buat turun mobilnya barusan. Tapi dulu dia nggak begitu, dan rasanya
Darian nggak adil dengan ngecap dia kayak gitu.”
“Dan dia jadi mikir kalau semua
orang yang lebih miskin dari dia pingin ngambil keuntungan dari dia,” kataku,
mengerti. “Dia jadi pahit.”
Rein mengangguk. “Tapi sekarang
dia jadi lebih baik, kok. Gue udah bilang, belum? Dia sekarang sering ngobrol
sama temen sekelompok Ekonomi-nya di kelas. Kita harus bikin bisnis kecil gitu,
yang bakal kita jadiin tugas akhir kelas 3 ini. Dia lumayan deket sama Leon.”
“Leon?” tanyaku lagi. “Leon yang
rambutnya rancung-rancung? Leon murid sekolah cabang yang ikut ngungsi?”
“Yep,” kata Rein, menerima
mangkuk baksonya. “Leon yang main sepakbola, nakal tapi dengan nilai yang
bagus. Leon anak beasiswa, tapi selain kenyataan itu, dia itu kloning Ditya —
alasan utama kenapa gue ngehindarin
dia. Nggak perlu banyak mikir kenapa Ed dan Leon cocok.”
Rein tertawa, tapi aku terdiam.
Itu adalah pertama kalinya aku mendengar Rein berbicara tentang Ditya lagi
setelah kecelakaan Aksa. Rein menyadari arti tatapanku, dan tanpa berhenti
menyendok kuah mie baksonya, dia berkata, “Ditya dan gue nggak apa-apa, kok.
Dia nggak sadar ini, tapi dia nggak pernah bener-bener sayang gue. Dia cuma
pingin sesuatu yang dimiliki Aksa. Dia iri sama Aksa. Dua kakak-adik bego itu
saling iri satu sama lain.”
“Rein...,” aku mendesah. Aku
belum pernah menanyakan itu, tapi aku tidak bisa menghentikan kata-kata itu
keluar dari bibirku, “Lo nggak apa-apa?”
Pertanyaan semacam itu tidak
pernah menyenangkan untuk didengar: jawaban yang didapat darinya tidak pernah
jujur.
“Kalau setiap hari kayak gini,
dengan Aksa di samping gue, gue bakal nggak apa-apa,” kata Rein. “Lo mungkin
pikir karena gue pacaran sama Ditya nggak dengan perasaan yang sepenuhnya, jadi
bakal gampang ngakhirinnya. Apalagi kita putus karena dia selingkuh, harusnya gampang
benci sama dia. Tapi waktu suatu hubungan berakhir, yang lo inget cuma saat lo
ketawa sama dia. Yang indah-indah aja. Gue cuma bersyukur kita semua masih
teman. Gue bersyukur ada Aksa di samping gue sepanjang waktunya.”
Rein kemudian meringsut, dan aku
merangkul bahunya. Gestur yang tidak pernah kulakukan, tapi aku merasa Rein
begitu membutuhkannya saat itu. Dia membiarkanku menenangkannya, membuatku
merasa kalau dia benar-benar adalah temanku yang sedang meminta sedikit
pertolongan.
Ketika sebuah hubungan berakhir,
betapapun pahitnya itu, pasti meninggalkan bekas pada hati seseorang. Rein
melewatkan bertahun-tahun dengan Ditya, pasti banyak rasa yang tertinggal.
Seperti rasa bersalah. Rasa kesal. Rasa penyesalan.
Aku tahu apa yang Rein pikirkan:
betapa baiknya kalau sedari awal dia langsung berpacaran dengan Aksa, orang
yang benar-benar disukainya, daripada harus melewatkan menyiksa dan disiksa
Ditya selama bertahun-tahun itu.
Tapi tidak ada satu pun dari hal
itu yang bisa diubah, karena segalanya telah terjadi. Aku mengambil mangkuk
bakso dari tangan Rein, meletakkannya di samping. Aku bermaksud untuk menenangkannya,
ketika aku melihat Aksa berdiri di samping kami.
Aku meninggalkan mereka berdua
yang kemudian berpelukan, kemudian aku merasakan gravitasi dari kata-kata Rein:
ia beruntung memiliki Aksa di sampingnya.
Ia memiliki cinta sejatinya kini,
dan segalanya menjadi sepadan.
Untuk begitu lama setelahnya aku
memikirkan percakapanku dengan Rein. Yang pertama, tentang berubah karena orang
yang disayang. Yang kedua, tentang sakitnya melepaskan sebuah hubungan yang
telah melekat di dalam hidupmu begitu erat.
Yang kedua terasa begitu dekat
denganku ketika aku pulang dan mendapati Eyang terbatuk lebih parah daripada
biasanya. Aku membawa Eyang ke dokter internis hari itu, dan mendapati kalau
Eyang mengidap bronchitis.
Eyang masih sempat bercanda di
jalan pulang, tapi hari itu kami pulang ke rumah tanpa membeli obat antibiotik
yang diharuskan dokter. Aku hanya melipat wajahku sepanjang waktunya, berpikir
keras mencari jalan keluar dari situasi itu. Kami hanya membeli obat batuk
biasa, yang aku tahu takkan bisa menyembuhkan Eyang.
Kau sudah mendengar suara batuk
Eyang lewat telepon, dan tidak percaya kalau segalanya baik-baik saja. Atau kau
mungkin mendengar kegagapanku dan menyimpulkan ada sesuatu yang telah terjadi.
Aku berusaha mengalihkan perhatianmu dengan berkata, “Gue mau kerja paruh
waktu. Menurut lo Ben bisa bantu gue carikan pekerjaan? S-sekarang gue udah
punya B2 DELF, mungkin dia bisa terima gue jadi pengajar lepasan di tempat
kursus....”
“Lo nggak pernah berpikir,
mungkin gue bisa bantu lo?” tanyamu
di ujung sambungan telepon. Tentu saja iya, tapi aku tidak terlalu menyukai ide
itu. Kau berkata, “Gue tahu pasti ada sesuatu, kenapa lo nggak kasih tahu gue
ada apa?”
Aku memberitahumu tentang situasi
Eyang, dan walaupun aku juga sadar apa artinya itu. Keesokan paginya kau datang
dengan alasan menjemputku ke sekolah, tapi aku tahu betul sebenarnya itu adalah
untuk memberikanku sebuah amplop berisi uang. Aku mengulang-ulang dalam hati
kalau uang itu untuk Eyang, tapi aku tetap mendorong balik amplop itu kepadamu,
“G-gue nggak bisa terima ini dari lo.... Lo tahu, gue—”
“Gue ulang tahun hari ini, inget?”
katamu, mengangkat alis. “Ini perintah.”
Akhirnya aku menerimanya,
mengucapkan terima kasih, tanpa dapat melihat matamu lurus-lurus. Kekhawatiranku
tentang segala situasi ini membuatku lupa sama sekali kalau hari itu adalah
ulang tahunmu. Itu menambah tumpukan rasa bersalahku.
Sepulang sekolah itu kita semua
bermaksud untuk merayakan hari ulang tahunmu di Peinture. Aku menyusul ke sana
setelah membawakan pulang obat untuk Eyang. Sesampainya aku di sana, Rein
sedang meyakinkanmu kalau mengundang Leon ke Peinture bersama hari itu bukan
hal yang buruk. Deadline tugas
Ekonomi dipercepat, dan kau dan Leon perlu menyelesaikan segalanya hari ini.
“Gue nggak bisa bikin tugasnya
hari ini,” katamu pada Rein. “Sekarang gue sama kalian, dan nanti malem gue
sama keluarga gue.”
“Makanya gue bilang, kalau kalian
bikin di sini pun nggak apa-apa,” kata Rein. “Lagipula, ada Shiva sama Aksa dan
gue yang bisa bantuin supaya tugas lo cepet beres.”
“Ada gue juga!” kata Ditya
mengangkat jari telunjuknya, tangannya yang lain menggenggam erat bir yang
sedang ia minum. Rein memutar bola matanya, ketika kemudian Ditya protes, “Hei
Rein, gue mantan ketua OSIS, inget? Oh dan kalau lo belum puas dengan pestanya,
kita bisa lanjut ke Loupin abis lo beres sama bonyok lo. Gue bisa buka meja
VIP, dan boom!”
Kali ini Aksa yang memutar bola
mata, mengingat bencana apa yang terakhir terjadi di Loupin. Ben mengambil bir
dari tangan Ditya dan berkomentar, “Nggak ada Loupin untuk hari ini, dan nggak
ada alkohol di Peinture — ini tempat artistik, bukan diskotik.”
“’Diskotik’? Kata zaman
apaan, tuh? Oom Ben, lo umur berapa, sih?
Kenapa nggak sekalian ‘ajojing’ aja,
biar lebih kuno lagi?” Ditya tertawa. Sementara Ben membela pilihan katanya
yang ia bilang ‘retro’, kau tampak berpikir mungkin kata-kata temanmu ada
benarnya. Maka kau pun menelepon Leon dan memintanya menyusul ke Peinture.
Sementara menunggu Leon datang,
Ben berkata mungkin sekarang adalah saat yang tepat untuk memberikan kado
terlebih dahulu. Kau menolak untuk membukanya di sana saat itu (alasannya jelas
tertulis pada wajahmu yang memerah), jadi semuanya disimpan ke mobilmu untuk
dibuka di rumah. Aku membantu membawakannya ke mobil, ketika kau bertanya apa
isi kado dariku.
“Jam tangan,” kataku jujur,
kemudian bercanda. “Bukan yang semacam Vacheron Constantin, tapi semacam yang
masuk akal dipakai anak SMU.”
“Lo pilih sendiri? Atau pilih sama Rein?
Akhir-akhir ini kalian ke mana-mana bareng terus. Lo bahkan bisa ngomong
Vacheron Constantin dengan lancar, pasti gara-gara dia.”
“Gue beli kado ini jauh sebelum
Rein ngungsi ke sekolah kita,” jawabku jujur. “Gue pakai uang dari hadiah lomba
nulis yang waktu itu. Gue nggak pernah minta maaf atau ngomong terima kasih ke
elo soal lomba itu....”
Kau melambaikan tanganmu, seakan
berkata aku tidak perlu melanjutkan kata-kataku. Kau sudah mengerti apa yang
ingin kukatakan. Kau berkata lagi, “Asal lo jangan berhenti nulis. Lo masih
nulis?”
“Aksa lagi buatin gue website kecil. Nantinya gue bisa pajang tulisan-tulisan gue di
sana,” kataku, mengangguk. “Kenapa lo suka sama tulisan gue?”
“Soalnya gue bisa tahu elo yang
sebenernya dari tulisan lo,” katamu. “Lo lagi nulis apa sekarang? Kok, nggak
pernah kasih lihat gue lagi?”
“Tentang jatuh cinta,” kataku,
dan itu cukup untuk membuatmu bungkam. Mungkin karena kau tidak tahu harus
menjawab apa, atau karena kemudian kita mendengar Leon dan lima orang lain
datang berjalan kaki. Mereka berangkulan, berjalan sambil tertawa-tawa, dan
Leon berhenti ketika melihatku dan kau sedang bersandar pada mobilmu. Dia
mengucap selamat ulang tahun sebelum melewati kami dan masuk ke dalam Peinture.
Ide yang diawali dengan maksud
baik dari Rein berubah menjadi bencana; karena Leon hanya ada di sana untuk
bersenang-senang dengan kelima temannya. Tidak ada tugas Ekonomi yang
diselesaikannya hari itu — ia hanya menyelesaikan lima gelas Drink of the Day dan dua porsi croque monsieur. Teman-temannya yang
sama sekali tidak pernah aku lihat sebelumnya mengabiskan porsi yang kurang
lebih sama.
Rein tampak sangat tidak enak
hati dengan perubahan suasana itu, tapi dia, sepertiku, tidak tahu Leon yang
sebenarnya seperti apa. Ia hanya berniat untuk mengubah imejmu yang eksklusif
dengan mengundang seorang teman ‘luar’ ke dalam. Tampaknya kau juga tidak tahu
Leon yang sebenarnya, karena kau tampak terkejut (dan sangat kesal, aku tidak
tahu berapa banyak kerutan yang ada pada dahimu saat itu) dengan perilaku Leon.
Rein berusaha menghiburmu dengan membuatkan tugas Ekonomimu, dan Aksa membantu
Rein tanpa banyak omong.
Aku tahu Ditya bisa meledak
setiap saat, dan aku tidak menginginkannya — tidak pada hari ulang tahunmu, tidak
di Peinture. Ketika Leon bertanya apakah ia dan teman-temannya dapat duduk
terpisah di satu meja, dan berkata kalau teman-temannya dapat memesan apa saja
yang mereka mau kalau masih merasa lapar, aku berdiri dari tempat dudukku.
Tiba-tiba Peinture jadi hening.
Mungkin semua orang sedang menunggu aksi semacam melempar sepatu berlumpur yang
kulakukan saat MOS dulu (mungkin kali ini melempar cat minyak atau café au lait panas). Sebenarnya aku
hanya ingin berkata kalau apa yang sedang ia lakukan itu tidak benar sama
sekali, tapi sebelum apapun sempat keluar dari bibirku, Ben mendahuluiku.
“Leon?” kata Ben, mengabaikan
kenyataan kalau dia sama sekali tidak pernah berkenalan dengannya. “Bisa kita
ngomong di luar?”
Leon menatapku Ben sejenak
sebelum ia berkata pada teman-temannya, mengajak mereka untuk pergi. Tampaknya
bahkan sebelum Ben berkata apa-apa, mereka sudah mengerti. Atau mungkin mereka
hanya pergi karena kini mereka telah merasa terlalu kenyang, dan tidak ada di
antara mereka yang memiliki kartu remi.
Sementara mereka keluar, aku
mendapati diriku mengikuti mereka, merasa kalau segalanya tidak adil kalau
mereka pergi begitu saja. Ben mengikutiku, dan kami berdiri di ambang teras
ketika Ben berkata pada Leon kalau mulai saat ini kejadian seperti ini tidak
boleh terulang kembali.
Leon berbalik, memandang Ben
dengan delik, lalu melirik ke arahku yang berdiri di samping Ben.
“Kenapa? Satu lintah udah terlalu
banyak untuk kalian?”
Leon kemudian meninggalkanku yang
terpaku mendengar kata-kata itu.
Tiga hari kemudian di suatu sore,
aku dan Ben lagi-lagi duduk berhadapan di kafe tempat kursus, dengan kopi
buatan Fendi di antara kami. Ben tahu ada banyak hal yang memenuhi pikiranku
sejak kejadian dengan Leon itu, dan dia menungguku dengan alis terangkat.
“Lo tahu, Shi, kalau lo mau
ngomong sesuatu, gue siap denger apa aja,” katanya. “Tapi gue nggak bisa kasih
kerjaan paruh waktu semacam jadi guru pengganti. Lo harus punya sertifikat C1
DELF untuk itu, dan kita berdua tahu lo cuma punya B2 sekarang.”
“Gue bisa belajar buat C1, tes
DELF selanjutnya itu Juni nanti, kan? Untuk sementara waktu gue...,” tapi
tanpaku menyelesaikan kalimatku sekalipun, aku tahu Ben tidak setuju dengan
ideku itu.
“Ini tentang Leon?”
Aku menggeleng. Ben jelas tidak
percaya pada gesturku itu. Dia berkata lagi, “Denger gue... kalau lo nggak usah
khawatir tentang apa yang Leon bilang. Lo nggak pernah manfaatin kita kayak
Leon manfaatin Ed hari itu—”
“Gue pernah!” potongku. “Gue
pernah. Ben, gue bisa bantu di perpustakaan sini... atau bantuin di bagian
administrasi... atau gue bisa jadi waitress
di sini bantuin Fendi. Gue cuma butuh kerjaan.”
“Untuk ngebalikin duit obat yang
dikasih Ed?” tanya Ben. “Gue tahu tentang itu dari Ed, dan gue setuju seratus
persen kalau lo boleh ambil uang itu tanpa ngerasa kayak ‘lintah’. Eyang lo
butuh duit itu, Shi. Ed mau bantu, dan lo nggak seharusnya ngerasa nggak enak
tentang itu.”
Aku terdiam. Ada selembar amplop
lain yang sedari tadi diam di dalam tasku, menghantuiku di setiap jawabanku
pada Ben. Keheninganku membuat Ben berkata, “Lo bukan orang pertama yang
datengin gue untuk pekerjaan, karena alasan yang sama,” Ben mengedikkan
kepalanya ke arah Fendi. “Lo kira kenapa awalnya gue bisa tawarin dia kerjaan
di sini? Lo dan Ed sekarang mirip banget dengan dia dan Elli dulu.”
“Ben...,” aku meraih tasku.
“Denger gue, Shi,” Ben berkata
lagi, “Hubungan kalian berdua itu nggak akan gampang, tapi gue tahu lo — rajin,
tulus, dan nggak macem-macem — gue rasa kalau lo berhenti ngehargain diri lo
kurang daripada apa yang seharusnya, segalanya nggak bakal kerasa susah. Kita
nggak bisa milih di keluarga macam apa kita dilahirin, dan sepanjang yang gue
lihat, lo berusaha dengan sekuat tenaga buat ngubah apa yang bisa lo ubah. Lo bisa
ngomong sama Ed....”
Aku tidak bisa menahan diriku
lagi. Aku menarik amplop itu dari tasku, menaruhnya di atas meja, lalu
mendorongnya ke arah Ben. Dia tampak bingung ketika melihatnya, dan aku
berkata, “B-buka aja. Lo bakal ngerti kenapa gue sekarang mohon lo untuk kasih gue kerjaan. Kenapa gue nggak bisa ngomong
sama Ed beberapa hari ini.”
“Lo harus tahu tingkah laku lo
itu bakal bikin Ed dapet keriput dini,” Ben menunjuk ke arah kening, lalu
meniru kerutan yang biasa kaubuat ketika kau merasa terganggu. Melihatku yang
tidak tertawa, Ben menyerah dan meraih amplop yang kuberikan.
Aku tidak bisa memperlihatkan
isinya pada siapapun ketika surat itu datang tiga hari yang lalu, tepat sehari
setelah ulang tahunmu. Isinya benar-benar tidak terasa nyata.
Sejak kau menggenggam tanganku
pada jalan dari sekolah ke tempat bimbel Rein, aku sering memikirkanmu. Lebih
sering daripada sebelumnya. Memikirkan hal-hal yang sebelumnya tidak berani
kubayangkan. Memikirkan tentang masa depan, tentang Perancis — lebih dari sekedar
karena negara itu akan memberikanku pendidikan yang membuat duniamu lebih
dekat. Pendidikan yang akan membuatmu lebih terjamah olehku.
Perancis adalah negara di mana
kau menjanjikan sekeping masa depan denganku. Sepenggal petualangan yang akan
kita lalui bersama. Tempat kursus keluarga Ben bukan hanya mengajarkanku
bahasa, tapi memperkenalkan budaya. Tidak butuh waktu lama hingga aku
membayangkan kota-kota Perancis yang dibagi berdasarkan blok yang memutar.
Orang-orangnya yang mengendarai sepeda sewaan. Memakan croissant dan kopi kesukaan bangsa itu di sebuah kafe pinggir
jalan, sembari bercakap-cakap dengan orang lain. Mengunjungi banyak notre dames dan menikmati keindahannya. Semua
itu akan kulalui denganmu, dengan harapan lewat sana aku mendekati duniamu
perlahan-lahan.
Untuk sesaat aku pikir masa depan
akan berlaku baik terhadap kita.
Ben membaca surat di dalam amplop
itu dan raut wajahnya berubah. Aku mulai terisak, pertama kali sejak lama
sekali. Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku membiarkan diriku nampak
selemah itu di depan orang lain, tapi aku melepaskan bebanku di hadapan Ben.
Hal itu terasa memalukan selepas bulir air mataku yang ketiga jatuh ke atas
meja, dan aku pun berdiri dan berbalik.
Ben ikut bangkit dan membisikkan
banyak kata-kata menenangkan untukku dalam bahasa Perancis. Ia terlihat kalut,
dan itulah kapan bahasa ibunya muncul. “Shiva,
kau bisa mencoba beasiswa lain.”
Aku menggeleng. Menyeka pipiku
yang basah. “S-surat itu dan kata-kata Leon tempo hari....”
“Membuatmu menyerah?” kata Ben. Dia kemudian mendesah, dan
berbicara dengan normal lagi, “Ini bukan akhir, Shi. Lo cuma perlu percaya itu,
dan lo bisa bangkit lagi. Lo kehilangan beasiswa, tapi lo nggak kehilangan Ed.”
Aku mendongak menatap Ben.
Beberapa saat lamanya aku mencoba mencerna kalimat terakhirnya, kemudian aku
mengerti. “Ed nggak mau LD, jadi dia setuju untuk ke Perancis sama gue. L-lo...
lo bener-bener pikir dia bakal....”
“Kalau dia bersedia pergi ke
Perancis untuk lo, kenapa nggak sebaliknya? Tinggal di Bandung untuk lo?”
No comments:
Post a Comment