Kelas satu diakhiri dengan kau yang mendapatkan deretan
nilai yang memuaskan pada mata pelajaran yang tadinya hampir membuatmu tinggal
kelas. Delapan koma lima untuk Matematika, delapan untuk Fisika, delapan koma
dua untuk Geografi, dan tujuh koma delapan untuk Akuntansi.
Pada Kimia kau mendapatkan lima koma sembilan, angka yang
sebenarnya lumayan baik jika mengingat bagaimana kau menolak sama sekali untuk
mempelajari apapun tentang Kimia. Bahasa Inggris-mu mendapat nilai sembilan
koma delapan, nyaris sempurna, nilai paling tinggi satu angkatan.
Setelah pembagian rapor, kau mentraktir Aksa, aku, dan Ditya
makan di Peinture. Secara resmi grup studi mingguan kita berakhir hari itu. Ben
menyapa kedatangan kita dengan sebuah lambaian, sementara inderanya yang lain
fokus pada lukisan yang ia kerjakan. Ditya mengelitiki tubuh Ben hingga ia
menyerah dan bergabung bersama, dan kita semua tertawa hingga petang.
“Lo nggak lihat tadi Pak Ludo hampir nangis bangga? Delapan
koma dua untuk Geografi!” tanya Ed balik, tertawa. “Gue seneng bukan cuma
gara-gara nilai bagus. Gue seneng karena banyak hal bagus yang terjadi setelah
ada lo.”
“Hal bagus?”
Kau tersenyum kali itu. “Tadinya gue kira SMU bakal
ngebosenin. Ada hal buruk waktu kenaikan ke SMU, dan tadinya gue nggak nyangka
ada orang kayak lo... yang bikin segalanya jadi lumayan menarik.”
Aku begitu terkesima aku tidak bisa menjawab apa-apa. Aku
bahkan lupa hal buruk yang dikatakannya pasti berkaitan dengan kepergian Vivi.
Hari itu berakhir dengan kau mengantarku pulang ke rumah,
tapi kali itu kau tidak langsung pergi.
Ada lampu jalan yang baru dipasang di
depan gang tempat rumahku tinggal. Kau memandangi pekarangan dan tampak depan
kediamanku dalam diam untuk sejenak. Mungkin itu adalah pertama kalinya kau
benar-benar turun dari mobil, dan memperhatikan seperti apa tempat tinggalku.
Aku bisa menebak kalau kau terkejut; dan aku takut sekali kau mengatakan
sesuatu yang menyakitkan tentang rumahku ini.
Setelah beberapa saat berlalu dan kau tidak kunjung masuk
kembali ke mobil, aku pun bertanya lamat-lamat, “Em... mau masuk?”
Kau mengangguk. Tidak lama kemudian, kau duduk di sofa ruang
tamuku, terlihat begitu kontras dengan sekitarmu. Kau terlihat salah tempat.
Aku tidak bisa memandang pemandangan itu terlalu lama, jadi aku berkata, “G-gue
ambilin lo minum bentar. Lo tunggu ya.”
Kau tidak menjawab, dan masih memperhatikan rumahku. Ada
bekas air yang meresap dari langit-langit yang bocor di bagian ujung, membuat
cat dindingku luntur. Ada bekas potongan kaki kursi yang termakan rayap — aku
tidak mampu membeli yang baru, jadi aku berusaha untuk menempelkannya kembali
dengan tape lebar.
Aku merasa sangat malu hingga aku ingin menangis. Sejak
kapan aku merasa begitu rendah diri karena aku menyukaimu? Sejak kapan aku
kehilangan semua harga diri yang membuatku melemparimu sepatu berlumpur pertama
kali kita bertemu? Sekarang aku tidak lagi bangga menjadi orang miskin yang
bermartabat; aku hanya ingin menjadi kaya dan pantas untukmu.
Eyang berada di kamar, lampunya sudah dimatikan. Ia terbatuk
hebat beberapa saat kemudian, yang aku yakin mengejutkanmu. Aku menutup mata
rapat-rapat, menahan semua emosi yang bergejolak dalam diriku. Aku takkan
membiarkan diriku dari malu pada keadaan Eyang yang sering sakit. Apa saja,
tapi tidak itu. Lalu, aku menyuguhkan segelas teh panas untukmu.
Kau sedang membaca sesuatu, dan aku sadar itu adalah naskah
novel tulis tangan yang baru aku selesaikan beberapa saat yang lalu. Ketika
pembagian rapor aku tidak sempat membawanya ke sekolah, jadi kau belum tahu
tentang itu.
“Loh, naskahnya udah jadi, Shi?” tanyamu, menjunjung naskah
itu di tanganmu. “Lo udah kirim copy-nya?”
Lalu aku sadar apa yang sedang kau bicarakan. Aksa sempat
melihat sebuah pengumuman lomba novel pada koran yang dibacanya di Peinture.
“Nggak, gue nggak ikut lombanya.”
“Nggak ikut lombanya?” tanyamu. “Kenapa?”
“Soalnya gue nggak ada waktu untuk ngetik naskah itu pakai
komputer, sementara deadline-nya
tinggal seminggu. Laptop gue dikasih
Pak Gianyar udah lama, dan kadang-kadang suka nggak jalan. Dan lagian, gue mau
fokus sama sekolah. Lo tahu kan, gue masuk IPA, dan...,” kataku memulai, lalu
mengatakan berbagai alasan lainnya kenapa aku tidak ingin repot-repot
mempermalukan diriku mengirimkan naskah itu ke lomba lalu kalah.
“Kalau soal komputer, gue bisa pinjemin punya gue besok, apa
susahnya? Kalau pun nanti diterbitin, lo sendiri yang bilang kalau
penerbit-penerbit gitu biasanya udah punya editor yang bisa bantu ngerevisi
naskah, jadi apa repotnya?” tanyamu, masih kukuh.
“P-pokoknya gue nggak mau kirim,” kataku, mengambil kembali
naskahku dari tanganmu. “Lo nggak akan ngerti kenapa.”
Kau mengernyitkan keningmu, lalu melipat tangan di depan
dadamu. “Lo tahu apa yang gue nggak ngerti? Lo yang selalu nyerah sebelum coba.
Lo nggak sadar kalau lo tuh sebenernya bener-bener berbaka—”
“Gue nggak tahan denger lo yang selalu ngedorong gue untuk
ngejar mimpi gue, yang gue tahu nggak dalam jangkauan!” kataku, pada akhirnya
mengatakan apa yang kurasakan. “Apa lo pernah ngerasain gimana rasanya makan
ubi rebus selama tiga hari penuh? Gimana takutnya gue waktu Eyang sakit dan
persediaan obat abis? Gimana malunya waktu ditanya sama temen-temen kelas, kenapa
gue nggak mau ikut kembaran jaket anak-anak cewek? Nggak, kan? Kenapa? Soalnya
dari dulu, lo selalu dapet apa yang lo mau.”
Kau sontak terdiam, wajahmu benar-benar terkejut dan
terpukul. Aku tahu aku mungkin sudah melewati batas.
Kalimat yang kemudian kau suarakan pelan dan lamat-lamat,
“Gue pikir lo berbakat. Dan karena keadaan lo kayak gini sekarang, malah
seharusnya lo berusaha lebih keras daripada orang lain untuk dapetin apa yang
lo mau. Soalnya lo bisa... sukses dalam bidang yang lo suka. Gue nggak komentar
apa-apa waktu lo bilang lo tetep mau masuk IPA kelas dua nanti, karena lo bakal
masuk Teknik Kimia kan? Gue cuma minta lo kirim naskah ini ke lomba, apa itu
bener-bener bikin lo semarah ini?”
Aku mencengkeram tangan di samping tubuhku. Berbakat? Aku ingat raut meremehkanmu
ketika kau membaca binderku di belakang kantin hari itu, di tengah-tengah asap
rokok Ditya.
Sebenarnya, aku tahu apa yang benar-benar membuatku marah.
Di luar jam sekolah, di luar seragam dan segala pretensi kesetaraan, aku tiba-tiba
sadar betapa berbedanya kita.
Dan mungkin ada hal lain lagi. Perbedaan kita membuatku
berpikir betapa cocoknya mantan kekasihmu dengan dirimu, jika dibandingkan
dengan diriku. Apa setelah ia kembali liburan ini, kalian akan bersama lagi?
Kenapa kau masih tidak mengatakan apa-apa padaku, padahal besok liburan sudah
dimulai?
Saat itu aku mengutuk diriku sendiri, oh Tuhan, aku benar-benar sudah jatuh cinta padamu, dan itu tidak boleh
terjadi.
Eyang terbatuk lagi,
dan kini aku bangkit, siap berjalan ke arah kamar Eyang. Ponselmu berdering,
dan aku berhenti sejenak sebelum berkata, “Makasih antaran pulangnya. Mendingan
lo angkat, mungkin itu panggilan dari luar negeri.”
Lalu aku masuk ke kamar Eyang.
Untuk pertama kalinya sejak lama sekali aku bertindak
sekanak-kanakan itu. Aku menyesali segala yang terjadi pada pertengkaran
pertama kita itu, hingga aku tidak menyadari kalau kau membawa naskah novelku
pulang denganmu. Persetan, kupikir saat itu. Sebenarnya untuk apa aku
menyelesaikan naskah itu? Bukankah sedari awal naskah itu hanya untuk membuatmu
tersenyum, karena aku suka melihatmu gembira setiap kau membacanya?
Satu minggu kemudian kau tidak menanyai kabarku sama sekali.
Kau menghilang dari muka bumi dan aku tentu tahu apa yang sedang mengisi waktumu.
Aksa sempat mengirimkan pesan padaku — menanyakan kabarku, bertanya apa aku
bersedia pergi ke Bali mulai lusa, selama beberapa hari ke depan. Vivi dan Rein
juga ikut serta, dia bilang, jadi aku takkan jadi perempuan sendiri.
Aku mengabaikan pesan itu, dan perasaanku agak tidak enak
pada Aksa. Tapi aku tidak tahu bagaimana harus menjawabnya, dan setelah apa
yang terjadi antara diriku dan dirimu waktu itu, aku tiba-tiba merasa mungkin
sudah waktunya aku perlahan-lahan menjauh dari kalian. Aku ingin mencari teman
yang lebih dari duniaku. Mungkin Topan bisa membantu. Aku pernah melihatnya
naik angkot suatu hari sepulang sekolah.
Lagipula, resolusi untuk menjauhi kalian tampaknya takkan
berjalan terlalu sulit. Kelas dua SMU aku masuk IPA dan kau IPS, takkan terlalu
sulit menghindarimu. Aksa sama-sama IPA, tapi kurasa dia akan mengerti.
Hari itu dengan resolusi memulai hidup baru tanpamu aku
pergi ke tempat kursus Gervais. Aku mengisi formulir pendaftaran kursus, dan
ketika aku berkata Bertrand Gervais yang merekomendasikan aku, si resepsionis
memandangiku dengan sebal, lalu berkata kalau aku tidak perlu membayar uang
pendaftaran atau kursus. Ben tidak berbohong soal kursus gratis. Si resepsionis
memberikan salinan bukti pembayaran, dan berkata kalau pelunasan sudah
ditanggungkan ke tempat kursus.
Aku sekali lagi adalah anak beasiswa.
Ben muncul di pekarangan tempat kursus ketika aku beranjak
pulang. Dia mengenakan jaket kulit dan helm, dan seketika aku tahu
Harley-Davidson yang diparkir tidak jauh dari sana adalah miliknya.
“Oh!” Ben membuka helmnya, lalu menatap terkejut ke arahku.
“Gue pikir lo nggak tertarik untuk kursus, soalnya lo nggak datang daftar
setelah gue kasih selebarannya.”
“Nggak, kok. Gue
tertarik, cuma kemarin tunggu liburan sekolah mulai aja,” kataku tersenyum.
“Ben, soal uang kursusnya....”
Ben mengangkat tangan, lalu berkata, “Kalau lo mau bales,
gimana kalau lo traktir gue kopi?”
Ben menunjuk kafe yang terletak di dalam pekarangan tempat
kursus. Dua americano yang kemudian
kami minum benar-benar lezat, tidak kalah dengan yang disuguhkan di Peinture.
Ben berkata kalau barista di tempat kursus dulunya memang bekerja di Peinture.
“Tapi Fendi minta dipindahtugasin ke sini, soalnya lebih
deket sama rumahnya,” kata Ben. Dia mengangkat tangannya untuk menyapa Fendi,
seorang pria di balik meja kasir yang mengenakan jaket kulit hitam. Fendi
membalas sapaan itu dengan sama cool-nya.
Ben menyalakan rokoknya ketika ia berkata sambil mengedikkan kepala ke arah
Fendi, “Sekarang dia tahu lo kenal gue. Jangan takut kelaparan kalau lo lagi
kursus, tinggal ke sini aja, Fendi pasti kasih lo gratisan.”
Aku tertawa seraya menyeruput kopiku. “Lo bakal bangkrut
cepet kalau lo bisnis kayak gini terus, Ben.”
“Nggak usah khawatir, nggak ke semua orang, kok,” Ben mengetuk
puntung rokoknya ke atas asbak, sambil tersenyum. “Jadi kenapa lo bisa mutusin
ikut kursus? Ed udah kasih persetujuan?”
“Kenapa gue harus persetujuan dia untuk ikut kursus?”
tanyaku agak tersinggung. Ben tidak menjawab, hanya tersenyum penuh arti sambil
mengangkat alisnya tinggi. Aku mendesah, “Oke. Gue nggak kontak sama dia sejak
kenaikan kelas. Jadi, gue nggak denger pendapat dia apa. Kalaupun gue tahu
pendapat dia apa, gue nggak ngerasa itu bakal jadi pertimbangan gue.”
Ben masih tersenyum, dan kali ini alisnya lebih tinggi lagi.
“Ben,” aku memangku dagu pada kedua tanganku. “Lo mau gue
ngomong apa lagi?”
“Nggak tahu. Mungkin semacam pengakuan kalau lo takut
ngomong ke Ed tentang kursus,” kini Ben mengangkat bahu, lalu meminum kopinya.
“Abisnya udah pengetahuan umum kalau di balik topeng cuek dan sinisnya, Ed itu
posesif. Dia nggak suka lo berhubungan sama gue?”
Aku termangu sejenak. Dalam satu tarikan napas Ben
mengatakan dua hal: bahwa ia mungkin menganggap ‘seperti sekarang ini’ adalah
sesuatu yang patut ditakuti. Dan bahwa kau, si Pangeran Tidak Acuh, merasa
posesif terhadapku.
Keduanya adalah hal absurd yang segera aku hapus dari
pikiranku.
Lalu aku melihatnya, Ben yang melepaskan ikatan kuncir
kudanya, meletakkan rokoknya di atas asbak, lalu mengikat rambutnya lagi dengan
asal. Dia terlihat begitu santai dan dewasa, begitu mudah untuk diajak bicara,
hingga aku akhirnya berkata, “Lagipula nggak apa-apa kan kalau gue nggak kasih
tahu dia soal sesuatu. Dia juga nggak pernah kasih tahu gue soal Vivi?”
Kini Ben tertawa. “Akhirnya ngomong juga deh.”
Lalu aku menghabiskan sore itu untuk bercakap-cakap dengan
Ben. Sama seperti aku menceritakan tentang kekhawatiranku tentang biaya kuliah,
obrolan kami mengalir, bahkan ke tempat yang tidak ingin aku bicarakan: kamu.
Ben tidak terlalu banyak berkata-kata, tapi dia tampak
menikmati curhatku. Saat itu juga begitu, dan di akhir dia memberikan sebuah
solusi untuk mengikuti kursus Perancis. Kali kedua itu di akhir perbincangan
kami, dia juga memberikan solusi lain yang sangat sederhana.
“Ya udah, karena lo udah muak sama Ed, gimana kalau gue
antar pulang?” kata Ben lagi, menyerahkan helmnya padaku. “Anggap aja bagian
dari resolusi baru.”
Dan aku menyetujuinya.
Aku sempat berkata di tengah percakapan kami di kafe tempat
kursus, kalau Eyang sering tidur siang pada sore hari. Di depan gang tempatku
tinggal, Ben mematikan mesinnya. Matahari menjelang terbenam, aku mengepit
helmku, berjalan di samping Ben yang mendorong motornya ke arah rumahku. Ben
mengusulkan ini agar suara deru mesin motormu tidak mengganggu tidur Eyang.
Kupikir saat itu Ben benar-benar orang kaya yang sangat mudah diajak bergaul.
Ada nyeri di hatiku yang mengingat bagaimana kau mendengar
suara batuk Eyang malam itu, tapi aku cepat-cepat menghapusnya. Hari ini adalah
hari resolusi baru. Setelah sekian lama mendekam di rumah, pada akhirnya hari
itu aku merasa segar. Mungkin segalanya benar-benar bisa berjalan lancar.
Lalu aku melihatnya, sedan hitammu yang memakan tiga per
empat jalan gang depan rumahku. Aku mendekat dengan kaku. Kami berjalan cukup
dekat dengan rumahku dan mobilmu, hingga aku mendengar suara tawa.
Kau sedang duduk lesehan di teras, di atas alas beranyam.
Sebuah papan catur usang pemberian Pak Gianyar berada di antara kau dan Eyang,
dan kalian sedang menikmati pertandingan catur yang entah kesekian sore itu.
Ada hangat yang menyeruak dari hatiku ke seluruh ujung
jemariku. Resolusiku hanya bertahan beberapa jam lamanya, dan kini aku sudah
ingin mengembalikan helmku pada Ben, dan berjalan ke arahmu. Tapi aku tidak
melakukannya. Aku tetap berada di balik pagar, mendengar suara tawamu yang
senada dengan milik Eyang. Untuk sesaat itu aku merasa kau dekat dengan
duniaku, dan aku sangat terharu.
Ben tidak merasakan semua gejolak emosi yang kurasakan. Ia
berjalan ke arah pagarku yang tidak tertutup tanaman, lalu mengangkat tangan
menyapamu, lalu membungkuk sopan pada Eyang.
Kau dan Eyang sontak berhenti bermain. Eyang berkata tentang
bagaimana ia kaget tapi senang pada akhirnya aku membawa teman ke rumah;
tentang betapa jagonya kau bermain catur dan betapa tampannya Ben; sekaligus
bertanya dari mana aku sedari siang, karena kau sudah menungguku lama sekali.
Aku tidak sempat malu pada kecerewetan Eyang yang pastinya
mengejutkan Ben. “Mungkin lain kali saya ikutan main caturnya, Pak. Saya cuma
antar Shiva pulang aja hari ini,” kata Ben, lalu melambai, “Gue pulang dulu,
ya.”
Aku mengangguk ketika Ben melambai pergi. Kau membalas
sapaan Ben dengan lambaian lain. Mata kita bertemu untuk sejenak, sebelum kemudian
kau memperhatikan bidak caturmu lagi.
“Kurang lama deh lo nge-date-nya,”
katamu ringan ketika aku masuk melewati pagar, dengan nada acuh tak acuh yang
biasa kaugunakan. “Wah, coba kalau lo pulang lebih telat lagi, mungkin gue udah
bisa skak-mat si Opa, nih.”
“Kenapa lo ke sini?”
Eyang segera bangkit dan menegurku, “Shi, kok gitu sih ke
Ed? Jangan gitu dong, dia udah nungguin dari siang, lho. Shiva ke mana, tadi?
Iya juga, ya, Ed pasti haus. Opa ambilin minum dulu ya! Ed mau apa? Teh aja deh
ya, enak banget teh buatan Opa. Ed harus coba. Jangan pergi dulu, mau Shiva
ngomong apa juga. Kita main satu ronde lagi. Oke?”
Kau mengangguk sambil tertawa. Tampaknya Eyang memang
membuatmu merasa terhibur. Ekspresimu melunak untuk sejenak, lalu kau terdiam.
Kau kemudian berkata, “Kakek lo lucu banget. Gue nggak nyangka ternyata Putri
Beku punya kakek secerewet Opa. Dia agak mirip Ditya. Pasti waktu muda dia
gaul, deh. Gue suka.”
Aku tidak menyebutkan kalau Eyang pastinya juga suka sekali
dengan dirimu, karena Eyang membiarkanmu memanggilnya ‘Opa’. Biasanya ia
menolak apapun selain ‘Pak Krishna’ dari orang selain aku. Bahkan Resti, anak
Pak Gianyar, juga memanggilnya seperti itu.
Aku juga tidak menyebutkan bagaimana terganggunya diriku
membayangkan Eyang mirip dengan
Ditya.
“Kasihan juga Eyang lo, sakit di rumah, tapi lo sibuk pacaran.
Gue nggak tahu kalau lo deket sama Ben, sampai dia mau kasih tebengan ke elo di
Harley-nya. Bahkan gue aja ragu Rein pernah nebeng sama dia atau ga.”
“Abisnya udah
pengetahuan umum kalau di balik topeng cuek dan sinisnya, Ed itu posesif.”
Kata-kata Ben mengiang di telingaku. Nadamu tajam dan
menyakitkan, tapi aku tak membiarkannya menyakitiku.
“So what?” tanyaku
balik. “It’s okay, right? He’s cool and I
like him. Lo juga seneng-seneng sama Vivi beberapa hari ini, kan? Gue
denger dari Aksa dia lagi balik dari Perancis.”
Ekspresi acuh-tak-acuhmu hancur sedikit. Kau terkejut, tapi
lalu terdiam. Ada kegeraman ketika kau mengangkat naskah yang sedari tadi
tergeletak di sampingmu, di atas tikar. Naskah novel tulis tangan milikku. Kau
mengembalikannya.
“Gue sebenernya awalnya ke sini mau balikin ini sama lo,”
katamu. “Tapi karena Opa gue jadi keasikan main catur. Lo jangan pikir gue
nunggu lo, soalnya gue sama sekali nggak
bakal ngelakuin hal kayak gitu. Nggak untuk lo — lo cuma seorang Shiva.”
Kau berdiri, naskahku di tangan, lalu kau meletakkannya di
atas meja di pojok. Kau mengucap pamit pada Eyang yang keluar dengan segelas
teh panas di tangan. Tanpa lagi menatap mataku, kau mengendarai sedanmu pergi
dari rumahku.
Setelah kau pergi aku mendengar dari Eyang kalau kau juga
datang membawakan sup ayam dan vitamin herbal, karena kau mendengar Eyang
terbatuk parah malam terakhir kau berkunjung.
Sup ayam darimu kami santap malam itu. Rasanya meresap ke
tenggorokanku. Dibanding membuat
badanku menghangat, sup itu membuat mataku
terasa terbakar.
Kalimat terakhirmu terasa begitu menyakitkan, rasanya itu
adalah rekor baru.
1 comment:
Kadang memang begitu, hubungan yang telah lama dibina itu malahan kaya porselen yang sangat rapuh, sekalinya pecah susah buat dikembalikan jadi seperti sedia kala
Post a Comment